Saya masih ingat kata-kata ustadzah saya sewaktu mentoring di SMA dulu. “Mau apapun yang diomongkan tentang seseorang, baik itu keburukan atau kebaikannya sekalipun, kalau orang tersebut tidak ridha, maka itu bisa menjadi ghibah, dek”.
Saya yang waktu itu masih duduk dikelas satu SMA hanya manggut-manggut mendengar kata-kata ustadzah, seolah paham dengan apa yang beliau katakan. Tapi pada akhirnya saya terjerumus juga. Dengan dalih curhat, saya seolah melegalkan ghibah saya terhadap seseorang. Mungkin awalnya hanya membicarakan kebaikan, tapi lama-lama menjerumus kesemua celah orang tersebut.
Contohnya begini. “Eh, si Fulan itu shalih, rajin, pinter, tapi kok yaa... bla... bla....” dan akhirnya kata “tapi” nya lebih banyak.
Atau seperti ini: “Aku kemaren di-sms si Fulanah. Dia mengatakan aku begini dan begini” sambil menunjukkan sms, sementara yang di “curhatin” penasaran melihat hpnya.
“Iya, aku kesel sama Fulanah. Masak ngatain aku seperti itu”
Tuh, ujung-ujungnya ghibah kan???
Ghibah, ya ghibah. Dalam bahasa lainnya ada yang menyebut dengan kata nggosip, nggunjing, atau bahasa gresiknya ngerasani. Membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Apakah kalian mengetahui apakah ghibah itu?’ para sahabat menjawab ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Kemudian beliau bersabda ‘Kamu menceritakan tentang saudaramu sedang ia tidak senang (jika hal itu diceritakan).’ Ditanyakan kepada beliau : ‘Bagaimana jika yang aku katakan ini benar adanya?’ Beliau bersabda: ‘Apabila engkau mengatakan sesuatu (yang buruk) kemudian itu benar, maka kamu telah ghibah, dan apabila yang kamu katakan itu tidak benar maka kamu telah menuduhnya (memfitnahnya).’ (HR. Muslim)
Kalau dalam hadits di atas dikatakan “kamu menceritakan saudaramu sedang ia tidak senang jika hal itu diceritakan”. Itu artinya entah itu berupa kebaikan atau keburukan orang tersebut selama orang itu tidak ridha hal itu diceritakan maka akan menjadi ghibah.
Saudaraku, saking tercelanya ghibah, Allah mengumpamakan seorang yang ghibah, seperti memakan bangkai saudaranya. Seperti yang tertera dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya “.... dan janganlah menggunjing satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bagaimana seorang yang menggunjing saudaranya seperti seorang yang makan bangkai saudaranya yang kita pun merasa jijik dengan hal itu. Hayoo apa kita mau memakan bangkai saudara kita sendiri? Bangkai ayam saja kita ndak mau apalagi ini bangkai saudara kita sendiri?
Saudaraku, sungguh sangat beda tipis antara ghibah dan curhat. Kalau curhat, tujuan kita adalah untuk mencari akar permasalahan dan solusi terhadap orang tersebut, sedang ghibah hanya untuk mencari aib dan kekurangan sudara kita. Namun kalau kita tidak hati-hati kita bisa terjerumus kedalam jurang ghibah yang siksanya sangat pedih.
Mungkin kita awalnya berniat curhat, tapi kalau curhatnya terus menerus tentang si Fulan atau Fulanah atau kalau kita tidak hati-hati maka lama-lama tanpa kita sadari akan menjadi ghibah.
Akhwati fillah, di dalam kitab Riyadush Shalihin dijelaskan, ada beberapa ghibah yang diperbolehkan dengan tujuan yang sah menurut ketentuan syar’i, hal ini dikarenakan enam sebab :
Yang pertama pengaduan, yakni pengaduan orang yang terdzalimi kepada hakim atau penguasa. Misalkan si fulanah mengadukan si fulan kepada orang tuanya karena telah didzolimi olehnya. Dengan harapan akan ada solusi dari orang tua.
Yang kedua meminta bantuan agar dapat mengubah kemungkaran atau agar dapat mengembalikan orang yang bermaksiat kepada kebenaran. Misalkan “si fulan telah melakukan begini, maka cegahlah”
Yang ketiga meminta fatwa. Misalkan “si dia mempunyai masalah seperti ini, bagaimana menurut pendapatmu?”
Yang keempat memperingatkan kaum muslimin dari keburukan atau memberikan nasehat kepada mereka. Yaitu dengan beberapa cara, antara lain:
- Menetapkan cela terhadap perawi hadits yang memang memiliki cela.
- Bermusyawarah tentang kekeluargaan melalui perkawinan seseorang, penitipan seseorang, interaksi atau kehidupan bertetangga lainnya.
- Apabila orang yang mengerti agama berinteraksi dengan orang yang suka berbuat bid’ah atau dengan orang yang fasik sehingga dikhawatirkan ada akses buruk bagi orang yang mengerti agama tersebut.
- Seorang yang tidak menjalankan tanggung jawab atau amanah kekuasaan, baik karena memang tidak layak atau memang karena pemegang jabatan tersebut memang fasik atau lalai.
Yang kelima seorang fasik yang menampakkan kefasikan atau bid’ah seperti membanggakan diri dengan meminum-minuman keras, menyandera orang, memungut pajak liar, merampas harta orang, senang berbuat aniaya dan sebagainya.
Dan yang keenam, identitas. Apabila seeseorang sudah dikenal dengan ciri-ciri tertentu sehingga menjadi identitas, seperti si bisu, si mata juling, dan sebagainya.
Itulah enam faktor yang menjadikan ghibah diperbolehkan oleh kesepakatan oleh para ulama. Selain dari itu tidak diperbolehkan. Meskipun niatnya curhat mengenai seseorang. Karena curhat yang tidak hati-hati dan tidak membawa mashlahat atau kebaikan apapun bagi yang curhat, pendengar curhatan atau orang yang menjadi objek curhat akan menjadi ghibah juga.
Semoga ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Agar lebih hati-hati lagi dalam menjaga lisan, berkata-kata, walau cuman hal yang sepele. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda “Kadangkala seorang mengatakan hal yang sepele, tetapi bisa mengakibatkan ia terjeremus kedalam neraka yang lebih jauh jaraknya daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Waallahu a’lam bish shawab. [Ukhtu Emil]
Saya yang waktu itu masih duduk dikelas satu SMA hanya manggut-manggut mendengar kata-kata ustadzah, seolah paham dengan apa yang beliau katakan. Tapi pada akhirnya saya terjerumus juga. Dengan dalih curhat, saya seolah melegalkan ghibah saya terhadap seseorang. Mungkin awalnya hanya membicarakan kebaikan, tapi lama-lama menjerumus kesemua celah orang tersebut.
Contohnya begini. “Eh, si Fulan itu shalih, rajin, pinter, tapi kok yaa... bla... bla....” dan akhirnya kata “tapi” nya lebih banyak.
Atau seperti ini: “Aku kemaren di-sms si Fulanah. Dia mengatakan aku begini dan begini” sambil menunjukkan sms, sementara yang di “curhatin” penasaran melihat hpnya.
“Iya, aku kesel sama Fulanah. Masak ngatain aku seperti itu”
Tuh, ujung-ujungnya ghibah kan???
Ghibah, ya ghibah. Dalam bahasa lainnya ada yang menyebut dengan kata nggosip, nggunjing, atau bahasa gresiknya ngerasani. Membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Apakah kalian mengetahui apakah ghibah itu?’ para sahabat menjawab ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Kemudian beliau bersabda ‘Kamu menceritakan tentang saudaramu sedang ia tidak senang (jika hal itu diceritakan).’ Ditanyakan kepada beliau : ‘Bagaimana jika yang aku katakan ini benar adanya?’ Beliau bersabda: ‘Apabila engkau mengatakan sesuatu (yang buruk) kemudian itu benar, maka kamu telah ghibah, dan apabila yang kamu katakan itu tidak benar maka kamu telah menuduhnya (memfitnahnya).’ (HR. Muslim)
Kalau dalam hadits di atas dikatakan “kamu menceritakan saudaramu sedang ia tidak senang jika hal itu diceritakan”. Itu artinya entah itu berupa kebaikan atau keburukan orang tersebut selama orang itu tidak ridha hal itu diceritakan maka akan menjadi ghibah.
Saudaraku, saking tercelanya ghibah, Allah mengumpamakan seorang yang ghibah, seperti memakan bangkai saudaranya. Seperti yang tertera dalam al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya “.... dan janganlah menggunjing satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bagaimana seorang yang menggunjing saudaranya seperti seorang yang makan bangkai saudaranya yang kita pun merasa jijik dengan hal itu. Hayoo apa kita mau memakan bangkai saudara kita sendiri? Bangkai ayam saja kita ndak mau apalagi ini bangkai saudara kita sendiri?
Saudaraku, sungguh sangat beda tipis antara ghibah dan curhat. Kalau curhat, tujuan kita adalah untuk mencari akar permasalahan dan solusi terhadap orang tersebut, sedang ghibah hanya untuk mencari aib dan kekurangan sudara kita. Namun kalau kita tidak hati-hati kita bisa terjerumus kedalam jurang ghibah yang siksanya sangat pedih.
Mungkin kita awalnya berniat curhat, tapi kalau curhatnya terus menerus tentang si Fulan atau Fulanah atau kalau kita tidak hati-hati maka lama-lama tanpa kita sadari akan menjadi ghibah.
Akhwati fillah, di dalam kitab Riyadush Shalihin dijelaskan, ada beberapa ghibah yang diperbolehkan dengan tujuan yang sah menurut ketentuan syar’i, hal ini dikarenakan enam sebab :
Yang pertama pengaduan, yakni pengaduan orang yang terdzalimi kepada hakim atau penguasa. Misalkan si fulanah mengadukan si fulan kepada orang tuanya karena telah didzolimi olehnya. Dengan harapan akan ada solusi dari orang tua.
Yang kedua meminta bantuan agar dapat mengubah kemungkaran atau agar dapat mengembalikan orang yang bermaksiat kepada kebenaran. Misalkan “si fulan telah melakukan begini, maka cegahlah”
Yang ketiga meminta fatwa. Misalkan “si dia mempunyai masalah seperti ini, bagaimana menurut pendapatmu?”
Yang keempat memperingatkan kaum muslimin dari keburukan atau memberikan nasehat kepada mereka. Yaitu dengan beberapa cara, antara lain:
- Menetapkan cela terhadap perawi hadits yang memang memiliki cela.
- Bermusyawarah tentang kekeluargaan melalui perkawinan seseorang, penitipan seseorang, interaksi atau kehidupan bertetangga lainnya.
- Apabila orang yang mengerti agama berinteraksi dengan orang yang suka berbuat bid’ah atau dengan orang yang fasik sehingga dikhawatirkan ada akses buruk bagi orang yang mengerti agama tersebut.
- Seorang yang tidak menjalankan tanggung jawab atau amanah kekuasaan, baik karena memang tidak layak atau memang karena pemegang jabatan tersebut memang fasik atau lalai.
Yang kelima seorang fasik yang menampakkan kefasikan atau bid’ah seperti membanggakan diri dengan meminum-minuman keras, menyandera orang, memungut pajak liar, merampas harta orang, senang berbuat aniaya dan sebagainya.
Dan yang keenam, identitas. Apabila seeseorang sudah dikenal dengan ciri-ciri tertentu sehingga menjadi identitas, seperti si bisu, si mata juling, dan sebagainya.
Itulah enam faktor yang menjadikan ghibah diperbolehkan oleh kesepakatan oleh para ulama. Selain dari itu tidak diperbolehkan. Meskipun niatnya curhat mengenai seseorang. Karena curhat yang tidak hati-hati dan tidak membawa mashlahat atau kebaikan apapun bagi yang curhat, pendengar curhatan atau orang yang menjadi objek curhat akan menjadi ghibah juga.
Semoga ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Agar lebih hati-hati lagi dalam menjaga lisan, berkata-kata, walau cuman hal yang sepele. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda “Kadangkala seorang mengatakan hal yang sepele, tetapi bisa mengakibatkan ia terjeremus kedalam neraka yang lebih jauh jaraknya daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Waallahu a’lam bish shawab. [Ukhtu Emil]