Namanya JR Farrell. Warga Amerika Serikat, tinggal di Chicago. Kehidupan Farrell semasa remaja dikelilingi oleh lingkungan yang buruk. Mulai dari keluarga, hingga teman-temannya.
Ayahnya seorang berdarah campuran Jerman dan Irlandia, pekerja keras tapi juga pemabuk. Ia sering memukuli istrinya sendiri. Sering pula ia melampiaskan kemarahan kepada Farrel dan adik-adiknya dengan berbagai kekerasan fisik.
Lingkungan masyarakat Farrel juga menggoda. Mulai teman wanita, minuman, klub malam, hingga narkoba. Adiknya sendiri juga menjadi salah satu pengedar narkoba terbesar di Chicago.
"Tapi entah mengapa, saya melarang diri untuk terlibat dalam semua tadi. Saya hanya merasa itu tidak benar," tutur Farrel mengenang masa remajanya.
Masa Pencarian
Peristiwa-peristiwa di masa kecil hingga remaja Farrel membuatnya menyadari betapa rapuhnya kehidupan. "Saya tak ingin mati sebagai idiot, jadi saya mulai belajar apa pun dan semuanya." tutur Farrell.
Mengetahui antusias Farrell, orangtuanya cemas. Mereka mengkhawtirkan ia akan tercuci otak atau mengikuti aliran atau mengkultuskan sesorang. Mereka benar. Pada 1994, Farrell menjadi Nazi. Ia mengaku saat itu menyukai fakta bahwa Hitler memiliki kendali atas ribuan orang. "Menjadi Nazi, membuat saya merasa penting, menjadi seseorang." Untuk satu ini, ayahnya tak menentang, justru senang dengan seluruh pemikiran Farrell.
Pada 1995, Farrell jatuh cinta kepada seorang gadis. Meski ia memiliki kesempatan untuk berbuat apa pun dengan gadis tersebut, lagi-lagi ia melarang dirinya. "Saya tidak bisa, saya tak membolehkan diri saya untuk memiliki hubungan intim dengan seseorang yang tidak saya nikahi." ujarnya.
Beberapa bulan setelah itu ia melamar kekasihnya. Mereka bertunangan tanpa sekalipun berhubungan seksual, sesuatu yang tidak biasa di kalangan barat. "Kami berdua paham bahwa akan banyak masalah terjadi bila kami lakukan itu," tutur Farrell.
Pada saat itu, Farrel sangat membenci Islam dan Muslim. Farrel termakan propaganda media bahwa Islam itu jahat dan penuh kekerasan. "Saya sungguh benar-benar membenci Muslim dalam tingkat yang tak anda percayai," kenangnya.
Kado Terbaik
Pada 1997, tunangan Farrell memberinya Al Qur'an sebagai hadiah. Gadis itu beralasan karena Farrel suka membaca. Namun, hadiah Al-Qur'an itu membuat Farrel marah karena ia membenci muslim. Bahkan ia sempat putus beberapa saat gara-gara hadiah itu.
Hingga pada suatu malam Farrel mengambil kitab suci tersebut dan mulai membacanya. "Saya masih ingat betul saat itu, rumah begitu bersih, udara terasa enak dan nyaman, sorot lampu sungguh pas untuk membaca. Itu Alquran versi terjemahan Abdullah Yusuf Ali," tutur Farrell.
Ia membaca bagian awalan, tiga halaman pertama, dan, "Saya mulai menangis seperti bayi. Saya menangis dan menangis. Saya tak bisa menahan diri. Seketika saya tahu bahwa inilah yang saya cari selama lini. Saya seperti ingin memukuli diri sendiri karena tak segera menemukan sejak dulu," ujar Farrell.
Ia merasa tersihir oleh bait-bait Al Qur'an. "Ini bukan Islam yang saya kenal. Ini bukanlah Arab, bukan sesuatu yang buruk yang saya pikir sebelumnya," kata Farrel. Ia merasa hidupnya dibungkus sepenuhnya dalam halaman-halaman tadi. Farrell menjumpai seperti membaca jiwanya dalam Alqur'an. "Sungguh indah, tetapi juga membuat saya menyesali diri. Setelah itu saya kembali menjalin hubungan dengan tunangan dan mendiskusikan banyak hal secara dewasa," ujarnya. Tak lama setelah itu, Farrel dan tunangannya memeluk Islam dan beritikad untuk hidup sebagai Muslim, meski itu berarti tinggal terpisah.
Begitu orangtua Farrel mengetahui itu, pecahlah kemarahan mereka. "Ayah saya mengancam membunuh saya. Ia berkata, 'Kamu lahir Katholik, jadi tolong Tuhan, saya akan memastikan kamu mati sebagai Katholik,'". Reaksi ibu Farrell pun setali tiga uang.
Saat itu pula ia didepak keluar dari rumah dan Farrell pun tinggal di jalan selama 6 bulan. "Saya menyantap makanan dari tempat sampah, tidur di luar saat malam-malam terdingin, waktu itu tahun 1999," tutur Farrell.
Namun itu semua tak menyurutkan semangat Farrell. "Saya berjalan bermil-mil untuk bisa bersama Muslim. Saya dikejar keluar dari lingkungan tertentu oleh polisi hanya gara-gara masuk ke lingkungan kulit hitam demi mengikuti shalat Jumat. Saya dilempari batu, diludahi, dikasari. Saya hanya ingin bisa bersama Muslim lain,"
Hingga suatu hari ia bertemu seorang teman yang membantunya. Si teman berkata, bila Farrell bisa membangun sebuah masjid dalam toko knalpotnya, maka ia bisa tinggal di sana hingga menemukan tempat lebih layak. Farrell pun setuju.
Toko itu memiliki ruang di tingkat dua, sekitar 186 meter persegi yang dipakai untuk gudang. Setiap hari Farrell menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuang sampah dan memindahkan pasokan inventaris. Dalam satu bulan ia telah menggarap setengah ruangan, membangun dinding, menambah jendela, memasang satu pintu, menggelar karpet, mengecat dan akhirnya membuka masjid toko knalpot pertama di Kota Chicago. "Saya belajar pertukangan dari paman saya. Itu adalah pekerjaan penuh waktu saya yang pertama." tuturnya.
Sekitar 6 bulan berikut ia berhasil mendapat satu pekerjaan bagus dan pindah bersama dua teman ke apartemen baru. Tunangannya tak ada dalam adegan hidupnya kini. "Kami telah setuju untuk hidup sebagai Muslim, bukan seperti orang bodoh. Saya lebih mencintai dia dari sebelumya, namun menjadi Muslim jauh lebih penting dari pada bersama seseorang dan kami belum menikah," ungkap Farrell.
Pada 1999 ia menjadi Presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim di kampusnya. Setiap hari ia menghadiri majelis taklim, ke seminar. Ia mulai memiliki seseorang yang menjadi tempat bertanya dan membangun hubungan dengan teman-teman Muslim lain.
Pergi Haji
Pada tahun 2000 Farrell melaksanakan ibadah Haji. Sebuah pengalaman yang tak pernah ia lupakan. Ia mengunjungi Madinah dan lingkungan di sekitarnya. "Satu hal yang saya sadari Haji adalah kebenaran tentang Tuhan dan sejarah Islam. Selama ini saya mungkin hanya bisa mengetahui dari buku mengenai tempat dan orang-orang, di sana saya melihat dengan mata sendiri keajaiban sejarah Islam. Saya seperti hidup dalam sejarah. Saya merasa Hadis-hadis menjadi hidup. Saya seperti menyaksikan sahabat di atas puncak bukit. Saya mencium bau perang Badar. Saya menghirup udara yang dulu juga dihirup Rasul," tutur Farrell.
Meski ia sendiri tanpa istri dan keluarga, Farrell menyadari Islam adalah kehidupan. "Bukan hanya cara hidup tapi kehidupan itu sendiri. Saya memahami Islam bukan sekedar agama, karena agama dapat dibiaskan. Saya memahami bahwa Muslim bukanlah Islam dan Islam tak bisa dinilai karena aksi Muslim. Muslimlah yang dihakimi oleh nilai-nilai Islam.
Farrell selalu bermimpi bekerja di sektor bantuan yang meringankan dan menolong beban orang lain. Kini Farrell bekerja untuk Global Relief Fondation dan telah bergabung selama setahun. [Disarikan dari Republika]
Ayahnya seorang berdarah campuran Jerman dan Irlandia, pekerja keras tapi juga pemabuk. Ia sering memukuli istrinya sendiri. Sering pula ia melampiaskan kemarahan kepada Farrel dan adik-adiknya dengan berbagai kekerasan fisik.
Lingkungan masyarakat Farrel juga menggoda. Mulai teman wanita, minuman, klub malam, hingga narkoba. Adiknya sendiri juga menjadi salah satu pengedar narkoba terbesar di Chicago.
"Tapi entah mengapa, saya melarang diri untuk terlibat dalam semua tadi. Saya hanya merasa itu tidak benar," tutur Farrel mengenang masa remajanya.
Masa Pencarian
Peristiwa-peristiwa di masa kecil hingga remaja Farrel membuatnya menyadari betapa rapuhnya kehidupan. "Saya tak ingin mati sebagai idiot, jadi saya mulai belajar apa pun dan semuanya." tutur Farrell.
Mengetahui antusias Farrell, orangtuanya cemas. Mereka mengkhawtirkan ia akan tercuci otak atau mengikuti aliran atau mengkultuskan sesorang. Mereka benar. Pada 1994, Farrell menjadi Nazi. Ia mengaku saat itu menyukai fakta bahwa Hitler memiliki kendali atas ribuan orang. "Menjadi Nazi, membuat saya merasa penting, menjadi seseorang." Untuk satu ini, ayahnya tak menentang, justru senang dengan seluruh pemikiran Farrell.
Pada 1995, Farrell jatuh cinta kepada seorang gadis. Meski ia memiliki kesempatan untuk berbuat apa pun dengan gadis tersebut, lagi-lagi ia melarang dirinya. "Saya tidak bisa, saya tak membolehkan diri saya untuk memiliki hubungan intim dengan seseorang yang tidak saya nikahi." ujarnya.
Beberapa bulan setelah itu ia melamar kekasihnya. Mereka bertunangan tanpa sekalipun berhubungan seksual, sesuatu yang tidak biasa di kalangan barat. "Kami berdua paham bahwa akan banyak masalah terjadi bila kami lakukan itu," tutur Farrell.
Pada saat itu, Farrel sangat membenci Islam dan Muslim. Farrel termakan propaganda media bahwa Islam itu jahat dan penuh kekerasan. "Saya sungguh benar-benar membenci Muslim dalam tingkat yang tak anda percayai," kenangnya.
Kado Terbaik
Pada 1997, tunangan Farrell memberinya Al Qur'an sebagai hadiah. Gadis itu beralasan karena Farrel suka membaca. Namun, hadiah Al-Qur'an itu membuat Farrel marah karena ia membenci muslim. Bahkan ia sempat putus beberapa saat gara-gara hadiah itu.
Hingga pada suatu malam Farrel mengambil kitab suci tersebut dan mulai membacanya. "Saya masih ingat betul saat itu, rumah begitu bersih, udara terasa enak dan nyaman, sorot lampu sungguh pas untuk membaca. Itu Alquran versi terjemahan Abdullah Yusuf Ali," tutur Farrell.
Ia membaca bagian awalan, tiga halaman pertama, dan, "Saya mulai menangis seperti bayi. Saya menangis dan menangis. Saya tak bisa menahan diri. Seketika saya tahu bahwa inilah yang saya cari selama lini. Saya seperti ingin memukuli diri sendiri karena tak segera menemukan sejak dulu," ujar Farrell.
Ia merasa tersihir oleh bait-bait Al Qur'an. "Ini bukan Islam yang saya kenal. Ini bukanlah Arab, bukan sesuatu yang buruk yang saya pikir sebelumnya," kata Farrel. Ia merasa hidupnya dibungkus sepenuhnya dalam halaman-halaman tadi. Farrell menjumpai seperti membaca jiwanya dalam Alqur'an. "Sungguh indah, tetapi juga membuat saya menyesali diri. Setelah itu saya kembali menjalin hubungan dengan tunangan dan mendiskusikan banyak hal secara dewasa," ujarnya. Tak lama setelah itu, Farrel dan tunangannya memeluk Islam dan beritikad untuk hidup sebagai Muslim, meski itu berarti tinggal terpisah.
Begitu orangtua Farrel mengetahui itu, pecahlah kemarahan mereka. "Ayah saya mengancam membunuh saya. Ia berkata, 'Kamu lahir Katholik, jadi tolong Tuhan, saya akan memastikan kamu mati sebagai Katholik,'". Reaksi ibu Farrell pun setali tiga uang.
Saat itu pula ia didepak keluar dari rumah dan Farrell pun tinggal di jalan selama 6 bulan. "Saya menyantap makanan dari tempat sampah, tidur di luar saat malam-malam terdingin, waktu itu tahun 1999," tutur Farrell.
Namun itu semua tak menyurutkan semangat Farrell. "Saya berjalan bermil-mil untuk bisa bersama Muslim. Saya dikejar keluar dari lingkungan tertentu oleh polisi hanya gara-gara masuk ke lingkungan kulit hitam demi mengikuti shalat Jumat. Saya dilempari batu, diludahi, dikasari. Saya hanya ingin bisa bersama Muslim lain,"
Hingga suatu hari ia bertemu seorang teman yang membantunya. Si teman berkata, bila Farrell bisa membangun sebuah masjid dalam toko knalpotnya, maka ia bisa tinggal di sana hingga menemukan tempat lebih layak. Farrell pun setuju.
Toko itu memiliki ruang di tingkat dua, sekitar 186 meter persegi yang dipakai untuk gudang. Setiap hari Farrell menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuang sampah dan memindahkan pasokan inventaris. Dalam satu bulan ia telah menggarap setengah ruangan, membangun dinding, menambah jendela, memasang satu pintu, menggelar karpet, mengecat dan akhirnya membuka masjid toko knalpot pertama di Kota Chicago. "Saya belajar pertukangan dari paman saya. Itu adalah pekerjaan penuh waktu saya yang pertama." tuturnya.
Sekitar 6 bulan berikut ia berhasil mendapat satu pekerjaan bagus dan pindah bersama dua teman ke apartemen baru. Tunangannya tak ada dalam adegan hidupnya kini. "Kami telah setuju untuk hidup sebagai Muslim, bukan seperti orang bodoh. Saya lebih mencintai dia dari sebelumya, namun menjadi Muslim jauh lebih penting dari pada bersama seseorang dan kami belum menikah," ungkap Farrell.
Pada 1999 ia menjadi Presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim di kampusnya. Setiap hari ia menghadiri majelis taklim, ke seminar. Ia mulai memiliki seseorang yang menjadi tempat bertanya dan membangun hubungan dengan teman-teman Muslim lain.
Pergi Haji
Pada tahun 2000 Farrell melaksanakan ibadah Haji. Sebuah pengalaman yang tak pernah ia lupakan. Ia mengunjungi Madinah dan lingkungan di sekitarnya. "Satu hal yang saya sadari Haji adalah kebenaran tentang Tuhan dan sejarah Islam. Selama ini saya mungkin hanya bisa mengetahui dari buku mengenai tempat dan orang-orang, di sana saya melihat dengan mata sendiri keajaiban sejarah Islam. Saya seperti hidup dalam sejarah. Saya merasa Hadis-hadis menjadi hidup. Saya seperti menyaksikan sahabat di atas puncak bukit. Saya mencium bau perang Badar. Saya menghirup udara yang dulu juga dihirup Rasul," tutur Farrell.
Meski ia sendiri tanpa istri dan keluarga, Farrell menyadari Islam adalah kehidupan. "Bukan hanya cara hidup tapi kehidupan itu sendiri. Saya memahami Islam bukan sekedar agama, karena agama dapat dibiaskan. Saya memahami bahwa Muslim bukanlah Islam dan Islam tak bisa dinilai karena aksi Muslim. Muslimlah yang dihakimi oleh nilai-nilai Islam.
Farrell selalu bermimpi bekerja di sektor bantuan yang meringankan dan menolong beban orang lain. Kini Farrell bekerja untuk Global Relief Fondation dan telah bergabung selama setahun. [Disarikan dari Republika]