lazada ID

Pidato Netanyahu - Obama dan Intifadah III


PM Israel Benjemen Nentanyahu dalam pidatonya di depan Kongres Amerika menolak kembalinya pengungsi ke perbatasan tahun jajahan 1967 dan berunding dengan pemerintah Palestina mendatang jika Hamas ikut di dalamnya. Ia juga meminta agar Palestina mengakui "identitas Israel sebagai negara yahudi".

Bahkan PM Israel menegaskan tujuh kata "tidak" di depan konferensi Lobi Yahudi (AIPAC) di Washington dan Kongres Amerika; tidak untuk semua tuntutan Palestina terkait perbatasan, keamanan, Al-Quds, pemukiman yahudi, hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka, dan air. Netanyahu menolak berdirinya negara Palestina di perbatasan jajahan tahun 1967, mempertahankan sungai Jordania, menolak pembagian Al-Quds (Jerusalem) karena ia murni ibukota satu-satunya Israel, menolak pembekuan pemukiman, dan meminta Palestina agar mengakui Israel sebagai negara yahudi, meminta kepada ketua Fatah Mahmud Abbas agar membubarkan kesepakatan rekonsiliasi dengan Hamas, menolak inisiatif Palestina ke PBB untuk meminta pendirian negara Palestina.

Bahkan pidato Netanyahu itu disambut riuh rendah 45 anggota Knesset dengan berdiri.

Sikap ekstrim elit Israel dan penolakannya terhadap proses perdamaian ini terjadi setelah sejumlah perubahan di kawasan Timur Tengah. Pada saat Arab mulai merasakan kebebasan, demokrasi dan stabilitas, namun Israel semakin kental dengan politik kekerasan dan rasisme. Menurut pengamat politik di Ittihad Emirats, Dr. Syamlan Yusuf Isa, Israel semakin ngotot menyatakan kepada barat bahwa Islam menjadi ancaman padahal pada saat yang sama, negara-negara Arab ingin perdamaian dan stabilitas. Padahal sebelumnya, elit Israel pernah menyatakan tidak mungkin mewujudkan perdamaian dengan negara Arab yang tidak demokratis. Tapi saat ini, ketika dunia Arab sudah mengarah kepada demokrasi, Israel justru mensyaratkan Arab harus melepaskan apayang tersisa dari wilayah yang mereka miliki dan Israel ingin yahudisasi Palestina dengan mengusir warga di wilayah jajahan tahun 1948.

Negara-negara Arab yang baru tidak mungkin berinteraksi dengan Israel dengan mengorbankan hak-hak bangsanya. Sebab public Arab sudah mulai merasakan arti kebebasan yang mereka perjuangkan. Mereka menentang sikap Israel karena berpolitik rasis dan memusuhi bangsa Palestina, memblokade dan mengusir serta membangun pemukiman yahudi di sana.

Lantas bagaimana mengembalikan hak-hak bangsa Arab dan menghidupkan negara Palestina dengan ibukota Al-Quds? Dr. Syamlan menilai, ada sejumlah alternatif pilihan. Pertama, merujuk kepada Majlis Umum PBB untuk mengakui negara Palestina dengan perbatasan wilaiayah jajahan tahun 1967 sesuai dengan resolusi legal internasional. Namun upaya ini akan menghadapi veto Amerika.

Bagi Syamlan, Arab tidak mampu menghadapi Israel secara militer atau memaksakan perdamian. Namun jika status quo dipertahankan, itupun tidak ada gunanya sebab Israel akan semakin ekspansif memperluas permukiman.

Tapi, ada indikasi positif yang berpihak kepada kepentingan Arab di antaranya; Israel yang membangun politik pertahanan dan keamanannya sesuai dengan perubahan kawasan Arab, kini tanpak bingung menyikapi perubahan-perubahan di dunia Arab. Kebebasan di Arab bisa memberikan peluang kepada kelompok Islam anti Israel untuk masuk ke parlemen Arab baik di Tunis atau di Mesir. Pembukaan perlintasan Rafah bagi Palestina adalah indikasi politik baru. Bahkan negara Arab yang dulunya membangun hubungan normalisasi dengan Israel kini merevisi politik mereka, bisa jadi bukan hanya Turki dan Mesir saja.

Alternative lain menurut Dr. Syamlan, kini Arab sudah berubah, namun politik Amerika tidak akan berubah terhadap Israel. Disinilah peran gerakan pemuda Arab dan aksi unjuk rasa damai yang kini terjadi. Layak dicontoh pemimpin India Gandhi yang mampu membebaskan negerinya dengan menganut politik boikot dan mandiri dan tidak menganut kekerasan. Seharusnya bangsa Arab menempuh cara ini.

Alternatif ini diamini oleh pengamat politik Samir Hijawi dalam tulisannya di harian Asy-Syarq Qatar yang menurutnya, pidato Netenyahu itu sudah menutup pintu bagi proses perdamaian bahkan telah memberikan peluang bagi meletusnya Intifadah III atau bahkan perang baru yang berbeda dengan sebelumnya. Baginya, secara riil, Netanyahu telah memberikan sikap final terhadap solusi politik yang bisa mengantarkan berdirinya negara Mikey Mouse, meminjam istilah Salam Fayyad. Israel dulu pernah menginginkan negara Palestina tanpa tapal batas, tanpa geografi integral, tanpa bangsa, tanpa air, tanpa udara dan tetap dalam kendali Israel.

Sikap Israel Amerika terhadap masalah Palestina adalah proyek politik besar. Sia-sia jika menyebut Amerika sebagai wasit. Bahkan proyek Israel diubah menjadi proyek murni Amerika. Komoditas Amerika yang dijual Israel dengan modal sekecil-kecilnya dengan keuntungan sebesar-besarnya.

Waktu habis bagi Israel dan Amerika. Kini kawasan Arab mendidik dalam revolusi. Revolusi yang akan terus berlanjut dan tidak akan berhenti. Revolusi ini selamanya tidak akan berpihak kepada kepentingan Israel. revolusi Mesir yang menjatuhkan rezim Mubarak, maka terjadi rekonsiliasi Palestina, Rafah dibuka. Bisa jadi akan pecah situasi "tenang" di Timur tengah. Maka meletusnya aksi Intifadah di Palestina melawan Israel hanya tinggal waktu.

Tidak bijak jika Amerika selalu mengadopsi proyek Israel dan melihat selalu dengan kaca mata Israel. Jika perundingan di tengah syarat-syarat Israel harus dipaksakan, Palestina dilarang ke PBB, ini berarti "aksi turun ke jalan" adalah satu-satunya yang tersisa bagi Palestina untuk mengembalikan hak-hak mereka. Teori yang terbukti efektif di Jalur Gaza dan Libanon Selatan. [bsyr, InfoPalestina]
Recomendation
Artikel Menarik Lainnya
Copyright © 2012-2099 SEKILAS DAKWAH - Dami Tripel Template Level 2 by Ardi Bloggerstranger. All rights reserved.
Valid HTML5 by Ardi Bloggerstranger