“Beruntunglah jika saat ini anti belum menikah…” kata partner kerja saya tiba-tiba.
“Lha kok begitu…??” jawab saya penuh tanya.
”Iya tentu saja... sebab terlalu banyak wow dan haaah… yang bakal anti temui sesudah menikah… itu sebabnya anti lebih beruntung punya waktu lebih lama untuk belajar dan mempersiapkan diri “ demikian partner kerja saya itu menjelaskan, ”beda dengan saya dulu saat memutuskan menikah… tak banyak persiapan mental dan ruhiyah… terlebih lagi persiapan niat… akhirnya saat di awal perjalanan pernikahan saya sering mengalami shock terapy”
”Begitulah… jika tidak benar- benar menata niat sejak awal… bukan tidak mungkin bahtera rumah tangga yang telah dibina akan karam dihempas derasnya gelombang masalah,” begitu serius ia menasehati saya.
Banyak hal yang mungkin muncul dan menjadi riak-riak gelombang atau bahkan menjadi tsunami yang bakal menguji jalannya bahtera rumah tangga. Diantaranya orientasi sebelum menikah, jika disorientasi sejak awal, bisa-bisa berbahaya. Misalnya jika bagi wanita orientasi awal menikah untuk melepas beban mencari nafkah. Menikah biar ada yang ngasih biaya, tidak usah susah-susah bekerja. Sebaliknya bagi pria, saat menikah tak perlu lagi mencuci, menyetrika, atau berharap jika mau makan apapun sudah tersedia diatas meja. Lha… jika yang terjadi sebaliknya dan tidak sesuai harapan. Gaji suami yang pas-pasan, cita rasa masakan istri yang tidak karuan, cucian dan setrikaan yang menumpuk bisa jadi ladang subur penyebab pertengkaran. Belum lagi, kekurangan-kekurangan yang perlu disyukuri dan kelebihan-kelebihan yang patut diwaspadai dari pasangan yang dinikahi. Lebih pendiam, kurang cerewet, mendengkur jika tidur, malas mandi, malas dandan, pelupa akut, kebiasaan teledor atau hobi belanja yang kurang sesuai dengan anggaran bisa jadi mengundang persoalan. Ditambah kemudian, kultur dan kebiasaan dari keluarga besar pasangan kita. Mertua yang terlalu baik hingga setiap ada persoalan suami-istri selalu mengambil peran untuk membantu menyelesaikan. Mereka seringkali terlalu khawatir dengan sang anak hingga setiap keperluan masih selalu saja diperhatikan. Hingga tak jarang eksistensi sang menantu jadi terabaikan. Demikian banyak hal, mulai yang sepele hingga yang serius yang bisa menjadi pemicu masalah. Yang bila kurang bijak dalam menyikapi dan menuntaskannya akan berbahaya.
Maka dari itu, sejak awal harus menata persepsi. Menikah tak hanya yang indah-indahnya saja yang merupakan nikmat. Berlelah-lelah mencari nafkah itu juga nikmat. Berusaha memberi senyum termanis di sela lelah mengurus rumah seharian adalah nikmat. Bersungguh-sungguh menerima dan memahami pasangan dengan sepenuh hati itu nikmat. Merebut hati mertua dengan simpati adalah nikmat. Menerima nasehat bijak yang mungkin menyakitkan dari mertua adalah nikmat. Sebagaimana dikatakan Salim A. Fillah, Sebab menikah adalah nikmat dan keindahan kecuali bagi yang menganggapnya sebagai beban. Sebab rumah tangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang memandangnya sebagai rutinitas tanpa makna. Sebab menikah adalah salah satu wasilah untuk mendapat syurga, kecuali bagi yang mejadikannya sebagai fase hidup yang dilewati begitu saja.
Adalah Niat. Itulah persiapan pra nikah yang terpenting yang bisa saya dapatkan dari perbincangan saya dengan rekan kerja saya tersebut. Sebagaimana yang pernah disinggung oleh ustadz Fauzil Adhim di sebuah forum kajian, jika ada seandainya ada 8 kali pertemuan kuliah pra nikah maka hendaknya ada 6 kali pertemuan yang hanya akan membahas 1 hal saja yaitu niat. Innamal a’maalu bin niyaati wa innamaa likullimrii-in maa nawaa. Sebab berbagai macam kitab hadist menempatkan hadist tersebut hampir selalu di awal pembahasan dan menegaskan bahwa apa yang kita peroleh berdasarkan atas apa yang kita niatkan. Dan sebagaimana pengalaman berharga dari rekan kerja saya tersebut. Niat awal ketika mulai memutuskan untuk menikah itulah yang akan menjadi pondasi pijakan kita dalam bersikap dan saat mengambil keputusan penting saat datang persoalan yang genting. Niat pula yang akan menentukan apakah ada barakah di sepanjang perjalanan pernikahan yang dilalui. [Kembang Pelangi]
“Lha kok begitu…??” jawab saya penuh tanya.
”Iya tentu saja... sebab terlalu banyak wow dan haaah… yang bakal anti temui sesudah menikah… itu sebabnya anti lebih beruntung punya waktu lebih lama untuk belajar dan mempersiapkan diri “ demikian partner kerja saya itu menjelaskan, ”beda dengan saya dulu saat memutuskan menikah… tak banyak persiapan mental dan ruhiyah… terlebih lagi persiapan niat… akhirnya saat di awal perjalanan pernikahan saya sering mengalami shock terapy”
”Begitulah… jika tidak benar- benar menata niat sejak awal… bukan tidak mungkin bahtera rumah tangga yang telah dibina akan karam dihempas derasnya gelombang masalah,” begitu serius ia menasehati saya.
Banyak hal yang mungkin muncul dan menjadi riak-riak gelombang atau bahkan menjadi tsunami yang bakal menguji jalannya bahtera rumah tangga. Diantaranya orientasi sebelum menikah, jika disorientasi sejak awal, bisa-bisa berbahaya. Misalnya jika bagi wanita orientasi awal menikah untuk melepas beban mencari nafkah. Menikah biar ada yang ngasih biaya, tidak usah susah-susah bekerja. Sebaliknya bagi pria, saat menikah tak perlu lagi mencuci, menyetrika, atau berharap jika mau makan apapun sudah tersedia diatas meja. Lha… jika yang terjadi sebaliknya dan tidak sesuai harapan. Gaji suami yang pas-pasan, cita rasa masakan istri yang tidak karuan, cucian dan setrikaan yang menumpuk bisa jadi ladang subur penyebab pertengkaran. Belum lagi, kekurangan-kekurangan yang perlu disyukuri dan kelebihan-kelebihan yang patut diwaspadai dari pasangan yang dinikahi. Lebih pendiam, kurang cerewet, mendengkur jika tidur, malas mandi, malas dandan, pelupa akut, kebiasaan teledor atau hobi belanja yang kurang sesuai dengan anggaran bisa jadi mengundang persoalan. Ditambah kemudian, kultur dan kebiasaan dari keluarga besar pasangan kita. Mertua yang terlalu baik hingga setiap ada persoalan suami-istri selalu mengambil peran untuk membantu menyelesaikan. Mereka seringkali terlalu khawatir dengan sang anak hingga setiap keperluan masih selalu saja diperhatikan. Hingga tak jarang eksistensi sang menantu jadi terabaikan. Demikian banyak hal, mulai yang sepele hingga yang serius yang bisa menjadi pemicu masalah. Yang bila kurang bijak dalam menyikapi dan menuntaskannya akan berbahaya.
Maka dari itu, sejak awal harus menata persepsi. Menikah tak hanya yang indah-indahnya saja yang merupakan nikmat. Berlelah-lelah mencari nafkah itu juga nikmat. Berusaha memberi senyum termanis di sela lelah mengurus rumah seharian adalah nikmat. Bersungguh-sungguh menerima dan memahami pasangan dengan sepenuh hati itu nikmat. Merebut hati mertua dengan simpati adalah nikmat. Menerima nasehat bijak yang mungkin menyakitkan dari mertua adalah nikmat. Sebagaimana dikatakan Salim A. Fillah, Sebab menikah adalah nikmat dan keindahan kecuali bagi yang menganggapnya sebagai beban. Sebab rumah tangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang memandangnya sebagai rutinitas tanpa makna. Sebab menikah adalah salah satu wasilah untuk mendapat syurga, kecuali bagi yang mejadikannya sebagai fase hidup yang dilewati begitu saja.
Adalah Niat. Itulah persiapan pra nikah yang terpenting yang bisa saya dapatkan dari perbincangan saya dengan rekan kerja saya tersebut. Sebagaimana yang pernah disinggung oleh ustadz Fauzil Adhim di sebuah forum kajian, jika ada seandainya ada 8 kali pertemuan kuliah pra nikah maka hendaknya ada 6 kali pertemuan yang hanya akan membahas 1 hal saja yaitu niat. Innamal a’maalu bin niyaati wa innamaa likullimrii-in maa nawaa. Sebab berbagai macam kitab hadist menempatkan hadist tersebut hampir selalu di awal pembahasan dan menegaskan bahwa apa yang kita peroleh berdasarkan atas apa yang kita niatkan. Dan sebagaimana pengalaman berharga dari rekan kerja saya tersebut. Niat awal ketika mulai memutuskan untuk menikah itulah yang akan menjadi pondasi pijakan kita dalam bersikap dan saat mengambil keputusan penting saat datang persoalan yang genting. Niat pula yang akan menentukan apakah ada barakah di sepanjang perjalanan pernikahan yang dilalui. [Kembang Pelangi]