Pernyataan Wakil Gubernur DKI Basuki Purnama (Ahok) pada Selasa (19/02/2013) patut dicermati. Dalam seminar di hadapan para dokter, Ahok menyatakan, “Kerusakan akhlak jelas bukan soal politik, negara ini rusak karena mencampuradukkan agama dan politik. Kita bisa berdebat di luar itu, banyak orang munafik, ada nggak pejabat yang berani melaporkan harta kekayaannya dan pajak yang dibayarkannya, tidak ada yang berani Pak, munafik!” seru Ahok.
Ia juga mengatakan dunia politik dengan kemunafikan. Banyak pejabat yang mengaku berakhlak, namun kenyataan berbicara sebaliknya. “Yang penting itu tiga hal, perut, otak sama dompet,” sambung Ahok.(lihat: “Ahok: Pejabat Munafik Campuradukkan Agama dan Politik!’, itoday.co.id, 19 Februari 2013, http://www.itoday.co.id/politik/ahok-pejabat-munafik-campuradukkan-agama-dan-politik)
Sebagai non Islam, Ahok mungkin tidak sadar bahwa pernyataannya itu ‘melukai’ banyak kaum Muslimin. Umat Islam di tanah air berpandangan bahwa antara Islam dan politik adalah saling terkait. Yakni ajaran Islam mesti menjadi landasan atau dasar dalam berpolitik. Islam menjadi dasar program dan moral politik.
Tokoh kenamaan politik Islam, Mohammad Natsir pernah menyinggung masalah ini. Ia menyatakan;
“Seringkali orang bertanya kenapa agama dibawa-bawa dalam politik atau politik membawa-bawa agama. Dan sering timbul pertanyaan, bagaimana dapat suatu partai politik didasarkan kepada agama, seperti halnya dengan partai politik Islam, Masyumi pada era Bung Karno. Pertanyaan itu timbul sebab seringkali orang mengartikan yang namanya agama itu hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam agama. Akan tetapi tidak tepat bagi agama yang bernama Islam yang hakikatnya lebih dari sekedar itu.”
Mantan Ketua Umum Partai Masyumi ini menjelaskan kembali, “Jika kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, maka kita dapat simpulkan dalam sebuah kalimat, “Islam is much more than a religious system. It is a complete civilization.” Islam itu adalah lebih dari sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan yang paling lengkap sempurna!...Oleh karena itu bagi kita seorang Muslim tidak dapat melepaskan diri dari politik. Dan sebagai orang berpolitik, kita tidak dapat melepaskan diri dari ideologi kita, yakni ideologi Islam. Bagi kita, menegakkan Islam tidak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan Negara, menegakkan kemerdekaan.”
Berbeda dengan kalangan Kristen/Katolik yang mempunyai trauma dalam sejarahnya dalam hubungan antara politik dan agama, maka Islam justru sebaliknya.
Di masa panjang pemerintahan Islam, dimana sultan/khalifah memegang teguh ideologi Islam dan menerapkannya dalam sistem pemerintahan, yang terjadi adalah keadilan dan kemakmuran.
Lihatlah kehidupan kaum Muslimin di masa Khulafaaur Rasyidin dan juga masa Bani Umayah/Abbasiyah /Andalusia, kaum Muslimin mengalami kemakmuran dan kemajuan yang luar biasa.
Beda dengan pengalaman gereja ketika bersekutu dengan kekuasaan (kaum birokrat) di abad pertengahan Eropa, yang terjadi justru korupsi, manipulasi dan keditaktoran. Saat itu pendeta bersekutu dengan kalangan birokrat bersama-sama memeras rakyat dan juga melakukan tindakan-tindakan yang kejam terhadap para ilmuwan yang pemikirannya berbeda dengan gereja.
Maka ilmuwan kritis seperti Bruno dan Galileo mengalami siksaan yang luar biasa saat itu. Begitu pula ketika ketika kekuasaan Andalusia pindah ke Katolik (1492), Ratu Isabella bersama para pendeta melakukan siksaan yang kejam terhadap ribuan kaum Muslimin di sana. Peristiwa itu dikenal dengan nama Inkuisisi dan kemudian mengharuskan tokoh-tokoh Katolik di abad ini minta maaf atas tindakannya yang di luar nalar manusia itu. Zaman kelam menyatunya gereja dengan kekuasaan saat itu disebut dalam sejarah dengan The Dark Ages. Maka kemudian lahirlah prinsip sekulerisme: "Serahkanlah kepada kaisar yang menjadi hak kaisar dan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan!”
Moral Politik
Saat ini politik Islam di Indonesia memang menyedihkan. Tokoh-tokoh Islam, meski sebagian memegang peran dalam politik, kebanyakan kalah bermain politik dengan tokoh-tokoh lain. Yang paling jelas adalah ketika Jokowi-Ahok yang diusung partai PDIP dan Gerindra mengalahkan Foke-Nahrowi dalam pemilukada di Jakarta. Meski Foke bukan tokoh ideal, tapi dukungan tokoh-tokoh umat tehadapnya menunjukkan ia wakil dari umat Islam. Tapi ternyata profesionalitas Jokowi-Ahok tetap menjadi pilihan masyarakat daripada Foke yang hanya bermain simbol.
Dalam hal ini, mestinya politikus Islam menguasai keduanya. profesionalitas dan politik simbol. Bukan hanya menjagokan simbol atau slogan-slogan yang kurang bermakna karena rendahnya profesionalitas.
Kurangnya profesionalitas di kalangaan politikus Islam, kini semakin buram ditambah dengan berkembangnya eksponen-eksponen politik Islam yang terjerat dengan kasus korupsi. Kasus terakhir adalah dugaan yang sedang menimpa pada Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), mantan presiden PKS. Partai yang menjadi banyak harapan umat untuk menumbuhkan budaya politik Islam yang bersih, kini justru ikut kena imbas. Meskipun secara prosentase kader-kader PKS yang terkena korupsi sedikit, tapi karena partai ini membawa nama Islam/dakwah dan mengusung slogan bersih, maka noda sedikit saja akan nampak lebih besar di mata masyarakat.
Tokoh-tokoh politik Islam mestinya mulai mengambil teladan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, sahabat, ulama atau tokoh-tokoh Islam di negeri ini dalam menjalankan pemerintahan. Mohammad Natsir mesti berpeluang menjadi seorang milyarder, tapi karena ia tokoh umat, ia tidak pernah menumpuk-numpuk kekayaan dalam rumahnya. Bahkan ketika menjadi Menteri Penerangan, bajunya paling kumal disbanding staf-stafnya. Ketika ia berhenti menjabat sebagai Perdana Menteri, ia dengan sukarela mengembalikan mobil dinasnya ke istana dan menempati rumahnya yang sangat sederhana dan tidak layak sebagai seorang mantan Perdana Menteri.
Tapi begitulah Natsir. Karena kesederhanaannya itulah ia kini terus menjadi model dan teladan bagi umat. Begitu pula ulama besar Buya HAMKA. Ia membuka layanan gratis setiap harinya di rumahnya untuk konsultasi. Rata-rata 10-15 orang tiap hari datang ke rumahnya untuk berkonsultasi masalah keluarga, anak, agama dan sebagainya. Ia tidak mau mengambil upah untuk konsultasinya itu, bahkan menempatkan kotak amal agar para pengunjung mengisinya pun ia hindari. Dengan kesederhanannya itu, HAMKA terus menjadi teladan ulama Indonesia hingga kini.
Begitu pula Prawoto Mangkusasmito, Ketua Partai Masyumi terakhir (1959-1960). Laki-laki berperawakan kurus itu memilih hidup sederhana dan menghindari bergelimang dengan duit. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga, istrinya juga membantu mencari nafkah. "Ia bukan seorang politikus yang menggunakan politik untuk mencari duit. Ia berjuang untuk negara dan rakyat Indonesia dan ini kelihatan sekali daripenghidupannya," tulis Tan Eng Kie wartawan China di Pos Indonesia, Agustus 1970.
Prawoto lahir di desa Tirto, Grabag Magelang 4 Januri 1910. Sejarah hidupnya, menggambarkan seorang pejuang politik (Islam) yang konsisten terhadap agama. Dalam soal prinsip agama, mantan guru sekolah Muhammadiyah ini mengingatkan, "Jangan tinggalkan tuntunan agama. Dipandang daripada sudut partai politik yang mendasarkan perjuangannya atas kaidah-kaidah agama, perlu kita renungkan kembali, apakah benar di dalam mengejar kemenangan-kemenangan yang bersifat sementara itu, dapat dipertanggungjawabkan jika ditinggalkan ketentuan-ketentuan yang terang nashnya dalam agama? Saya yakin tidak. Jika demikian, maka kerusakanlah yang akan menjadi bagian kita dan tidak ada guna, malah menyesatkan perkataan agama yang kita tempelkan pada papan nama kita." (lihat buku Prawoto Mangkusasmito, 1972).
Dalam kesempatan lain, Prawoto mengingatkan kepada Presiden Soekarno yang membubarkan Partai Masyumi (1960): "Orang-orang yang benar-benar memperjuangkan Islam, tidak bisa lain dari bertujuan supaya hukum Islam berlaku dan terutama untuk si pejuang sendiri, hukum Islam dengan segala batas dan larangan-larangannya, yang tidak boleh dilanggar oleh si Muslim yang kebetulan berkuasa."
Sebuah pesan yang sangat relevan dengan situasi politik kita saat ini. Wallahu a’lam.
Penulis : Nuim Hidayat, Dosen STID Mohammad Natsir
Sumber : Hidayatullah.com
Ia juga mengatakan dunia politik dengan kemunafikan. Banyak pejabat yang mengaku berakhlak, namun kenyataan berbicara sebaliknya. “Yang penting itu tiga hal, perut, otak sama dompet,” sambung Ahok.(lihat: “Ahok: Pejabat Munafik Campuradukkan Agama dan Politik!’, itoday.co.id, 19 Februari 2013, http://www.itoday.co.id/politik/ahok-pejabat-munafik-campuradukkan-agama-dan-politik)
Sebagai non Islam, Ahok mungkin tidak sadar bahwa pernyataannya itu ‘melukai’ banyak kaum Muslimin. Umat Islam di tanah air berpandangan bahwa antara Islam dan politik adalah saling terkait. Yakni ajaran Islam mesti menjadi landasan atau dasar dalam berpolitik. Islam menjadi dasar program dan moral politik.
Tokoh kenamaan politik Islam, Mohammad Natsir pernah menyinggung masalah ini. Ia menyatakan;
“Seringkali orang bertanya kenapa agama dibawa-bawa dalam politik atau politik membawa-bawa agama. Dan sering timbul pertanyaan, bagaimana dapat suatu partai politik didasarkan kepada agama, seperti halnya dengan partai politik Islam, Masyumi pada era Bung Karno. Pertanyaan itu timbul sebab seringkali orang mengartikan yang namanya agama itu hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam agama. Akan tetapi tidak tepat bagi agama yang bernama Islam yang hakikatnya lebih dari sekedar itu.”
Mantan Ketua Umum Partai Masyumi ini menjelaskan kembali, “Jika kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, maka kita dapat simpulkan dalam sebuah kalimat, “Islam is much more than a religious system. It is a complete civilization.” Islam itu adalah lebih dari sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan yang paling lengkap sempurna!...Oleh karena itu bagi kita seorang Muslim tidak dapat melepaskan diri dari politik. Dan sebagai orang berpolitik, kita tidak dapat melepaskan diri dari ideologi kita, yakni ideologi Islam. Bagi kita, menegakkan Islam tidak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan Negara, menegakkan kemerdekaan.”
Berbeda dengan kalangan Kristen/Katolik yang mempunyai trauma dalam sejarahnya dalam hubungan antara politik dan agama, maka Islam justru sebaliknya.
Di masa panjang pemerintahan Islam, dimana sultan/khalifah memegang teguh ideologi Islam dan menerapkannya dalam sistem pemerintahan, yang terjadi adalah keadilan dan kemakmuran.
Lihatlah kehidupan kaum Muslimin di masa Khulafaaur Rasyidin dan juga masa Bani Umayah/Abbasiyah /Andalusia, kaum Muslimin mengalami kemakmuran dan kemajuan yang luar biasa.
Beda dengan pengalaman gereja ketika bersekutu dengan kekuasaan (kaum birokrat) di abad pertengahan Eropa, yang terjadi justru korupsi, manipulasi dan keditaktoran. Saat itu pendeta bersekutu dengan kalangan birokrat bersama-sama memeras rakyat dan juga melakukan tindakan-tindakan yang kejam terhadap para ilmuwan yang pemikirannya berbeda dengan gereja.
Maka ilmuwan kritis seperti Bruno dan Galileo mengalami siksaan yang luar biasa saat itu. Begitu pula ketika ketika kekuasaan Andalusia pindah ke Katolik (1492), Ratu Isabella bersama para pendeta melakukan siksaan yang kejam terhadap ribuan kaum Muslimin di sana. Peristiwa itu dikenal dengan nama Inkuisisi dan kemudian mengharuskan tokoh-tokoh Katolik di abad ini minta maaf atas tindakannya yang di luar nalar manusia itu. Zaman kelam menyatunya gereja dengan kekuasaan saat itu disebut dalam sejarah dengan The Dark Ages. Maka kemudian lahirlah prinsip sekulerisme: "Serahkanlah kepada kaisar yang menjadi hak kaisar dan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan!”
Moral Politik
Saat ini politik Islam di Indonesia memang menyedihkan. Tokoh-tokoh Islam, meski sebagian memegang peran dalam politik, kebanyakan kalah bermain politik dengan tokoh-tokoh lain. Yang paling jelas adalah ketika Jokowi-Ahok yang diusung partai PDIP dan Gerindra mengalahkan Foke-Nahrowi dalam pemilukada di Jakarta. Meski Foke bukan tokoh ideal, tapi dukungan tokoh-tokoh umat tehadapnya menunjukkan ia wakil dari umat Islam. Tapi ternyata profesionalitas Jokowi-Ahok tetap menjadi pilihan masyarakat daripada Foke yang hanya bermain simbol.
Dalam hal ini, mestinya politikus Islam menguasai keduanya. profesionalitas dan politik simbol. Bukan hanya menjagokan simbol atau slogan-slogan yang kurang bermakna karena rendahnya profesionalitas.
Kurangnya profesionalitas di kalangaan politikus Islam, kini semakin buram ditambah dengan berkembangnya eksponen-eksponen politik Islam yang terjerat dengan kasus korupsi. Kasus terakhir adalah dugaan yang sedang menimpa pada Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), mantan presiden PKS. Partai yang menjadi banyak harapan umat untuk menumbuhkan budaya politik Islam yang bersih, kini justru ikut kena imbas. Meskipun secara prosentase kader-kader PKS yang terkena korupsi sedikit, tapi karena partai ini membawa nama Islam/dakwah dan mengusung slogan bersih, maka noda sedikit saja akan nampak lebih besar di mata masyarakat.
Tokoh-tokoh politik Islam mestinya mulai mengambil teladan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, sahabat, ulama atau tokoh-tokoh Islam di negeri ini dalam menjalankan pemerintahan. Mohammad Natsir mesti berpeluang menjadi seorang milyarder, tapi karena ia tokoh umat, ia tidak pernah menumpuk-numpuk kekayaan dalam rumahnya. Bahkan ketika menjadi Menteri Penerangan, bajunya paling kumal disbanding staf-stafnya. Ketika ia berhenti menjabat sebagai Perdana Menteri, ia dengan sukarela mengembalikan mobil dinasnya ke istana dan menempati rumahnya yang sangat sederhana dan tidak layak sebagai seorang mantan Perdana Menteri.
Tapi begitulah Natsir. Karena kesederhanaannya itulah ia kini terus menjadi model dan teladan bagi umat. Begitu pula ulama besar Buya HAMKA. Ia membuka layanan gratis setiap harinya di rumahnya untuk konsultasi. Rata-rata 10-15 orang tiap hari datang ke rumahnya untuk berkonsultasi masalah keluarga, anak, agama dan sebagainya. Ia tidak mau mengambil upah untuk konsultasinya itu, bahkan menempatkan kotak amal agar para pengunjung mengisinya pun ia hindari. Dengan kesederhanannya itu, HAMKA terus menjadi teladan ulama Indonesia hingga kini.
Begitu pula Prawoto Mangkusasmito, Ketua Partai Masyumi terakhir (1959-1960). Laki-laki berperawakan kurus itu memilih hidup sederhana dan menghindari bergelimang dengan duit. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga, istrinya juga membantu mencari nafkah. "Ia bukan seorang politikus yang menggunakan politik untuk mencari duit. Ia berjuang untuk negara dan rakyat Indonesia dan ini kelihatan sekali daripenghidupannya," tulis Tan Eng Kie wartawan China di Pos Indonesia, Agustus 1970.
Prawoto lahir di desa Tirto, Grabag Magelang 4 Januri 1910. Sejarah hidupnya, menggambarkan seorang pejuang politik (Islam) yang konsisten terhadap agama. Dalam soal prinsip agama, mantan guru sekolah Muhammadiyah ini mengingatkan, "Jangan tinggalkan tuntunan agama. Dipandang daripada sudut partai politik yang mendasarkan perjuangannya atas kaidah-kaidah agama, perlu kita renungkan kembali, apakah benar di dalam mengejar kemenangan-kemenangan yang bersifat sementara itu, dapat dipertanggungjawabkan jika ditinggalkan ketentuan-ketentuan yang terang nashnya dalam agama? Saya yakin tidak. Jika demikian, maka kerusakanlah yang akan menjadi bagian kita dan tidak ada guna, malah menyesatkan perkataan agama yang kita tempelkan pada papan nama kita." (lihat buku Prawoto Mangkusasmito, 1972).
Dalam kesempatan lain, Prawoto mengingatkan kepada Presiden Soekarno yang membubarkan Partai Masyumi (1960): "Orang-orang yang benar-benar memperjuangkan Islam, tidak bisa lain dari bertujuan supaya hukum Islam berlaku dan terutama untuk si pejuang sendiri, hukum Islam dengan segala batas dan larangan-larangannya, yang tidak boleh dilanggar oleh si Muslim yang kebetulan berkuasa."
Sebuah pesan yang sangat relevan dengan situasi politik kita saat ini. Wallahu a’lam.
Penulis : Nuim Hidayat, Dosen STID Mohammad Natsir
Sumber : Hidayatullah.com