Oleh: Chaidar Abdullah
Perhatian masyarakat dunia saat ini tertuju pada peristiwa dramatis yang merongrong Libya dan Yaman, Bahrain dan Suriah, dan tempat lain di dunia Arab, sementara itu Israel asyik memperluas daerah jajahannya di Tepi Barat Sungai Jordan dan Jerusalem Timur.
Negara Yahudi tersebut juga seenaknya meningkatkan pemboman terhadap rakyat terkepung di Jalur Gaza, tempat militer Yahudi membantai delapan orang Palestina. Empat korban --menurut laporan media internasional-- berasal dari satu keluarga, dua di antara mereka adalah anak kecil.
Tak ada yang "luar biasa" sebenarnya dalam kejadian tersebut. Entah berapa banyak orang Palestina yang dibunuh pada pekan lalu oleh penguasa Yahudi.
Tepi berita itu memang menarik perhatian media di Amerika. Menurut laporan, perisitiwa tersebut dimasukkan ke dalam bagian "News in Brief" --tapi saat satu keluarga Yahudi yang terdiri atas lima lima orang ditikam oleh orang Palestina di Tepi Barat, perhatian yang diberikan media Amerika jauh lebih besar.
Meskipun banyak pengulas diberitakan mencela aksi pemerintah Yahudi tersebut, tak seorang pun dari mereka mempertimbangkan konteksnya; Tepi Barat Sungai Jordan adalah wilayah yang dijajah, dan bukan hanya hukum internasional menganggap wilayah itu berada di luar batas kolonisasi oleh kaum pendudukan, tapi hukum juga menganggap wilayah semacam itu sebagai daerah pertempuran.
Jadi, jika orang membawa anak-anak dan kaum perempuan ke daerah pertempuran, terbuka peluang mereka akan cedera --sangat mungkin orang orang atau sekelompok orang yang tanah mereka dijajah. Masyarakat madani Palestina jatuh miskin akibatkan kehilangan tanah mereka.
Yang jadi pertanyaan ialah apakah kaum Yahudi bisa lolos dengan aksi kolonial mereka, dan dengan tindakan brutal yang setiap hari mereka lakukan terhadap orang Palestina, seandainya saja tak ada dukungan dari AS, sekutu dan pelindung kuatnya?
Coba saja bandingkan dengan aksi kapal perang AS yang menghujani sistem pertahanan Libya dengan rudal cruise Tomahawk, sementara pesawat tempurnya mengganyang kendaraan militer negara Afrika Utara tersebut. Presiden AS Barack Obama menegaskan aksi itu "dimaksudkan untuk melindungi warga sipil".
Tapi bagaimana dengan rakyat miskin Palestina baik di Tepi Barat maupun di Jalur Gaza, apakah mereka bukan warga sipil? Apakah mereka tak pantas dilindungi dari kekejaman kaum Yahudi?
Amerika Serikat juga telah dengan ringan tangan membom penduduk di daerah sabuk suku Pakistan di perbatasan dengan Afghanistan, padahal mereka juga warga sipil. Mereka dicap sebagai "teroris" oleh negara adidaya tersebut, tapi benarkah tudingan itu?
Sewaktu Dewan Keamanan PBB baru-baru ini berusaha mensahkan resolusi untuk mengutuk perluasan wilayah Israel di tanah Arab, Washington menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan rencana itu.
Yang lebih menyakitkan hati ialah Duta Besar AS untuk PBB Susan Rice diberitakan mengatakan kepada wartawan bahwa "sungguh, sejujurnya, dengan menggunakan hak veto tak berarti Washington menyetujui perluasan wilayah Israel".
Lalu apa? Sekali lagi, para diplomat memang boleh-boleh saja bersikap "diplomatis", tapi sikap muka-dua, standard-ganda terlihat jelas menjadi landasannya.
Orang jadi prihatin sebab sikap munafik dengan gamblang menjadi faktor kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah.
Mendua
Memang baik jika orang tak menganggap remeh ancaman pemimpin Libya Muamar Gaddafi untuk tak memperlihatkan belas kasih terhadap mereka yang menentang dia. Tapi kapan ya terakhir kali orang melihat AS mengekang negara kliennya, Israel, agar "tak memperlihatkan sikap tak kenal ampun" terhadap rakyat di Lebanon dan Jalur Gaza. Di kedua wilayah tersebut --dalam dua agresi militernya-- Israel menewaskan ribuan warga sipil dan meluluh-lantakkan rumah serta lahan mereka.
Lalu kapan terakhir kali pemerintah Amerika tak harus menelan kue penghinaan dan tak berkutik dalam menghadapi Israel sehubungan dengan tindakan penguasaan tanah Arab oleh penguasa Yahudi.
Pemerintah Obama telah menghabiskan kebanyakan masa jabatannya untuk memperbaiki hubungan dengan negara Islam, terutama negara Arab. Tapi bagi AS apa yang Israel mau bisa didapatkan, dan apa yang Israel lakukan tak pernah menghadapi hukuman.
"Pendudukan --yang tidak sah, tak manusiawi, dan tak sejalan dengan nila-nilai Yahudi-- telah berlangsung selama 44 tahun," tulis David Remnick di potongan "Talk of the Town" di New Yorker belum lama ini.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berpendapat ia dapat terus bertindak semaunya, dan terjamin di balk tembok kokoh. Pada penghujung Februrari, ia menelefon Kanselir Jerman Angela Merkel untuk menyampaikan ketidak-senangannya sebab Jerman telah memberi suara buat resolusi PBB yang mengutuk penjajahan Yahudi, sehingga Merkel dilaporkan nyaris tak bisa menahan amarahnya.
"Berani sekali kamu?" kata Merkel sebagaimana dikutip media transnasional. "Kamu lah yang telah mengecewakan kami. Kamu tak pernah melakukan satu langkah pun ke arah perdamaian."
Kanselir Jerman tersebut bisa mengatakan itu kepada perdana menteri Israel, tapi seorang presiden Amerika tak pernah melakukannya.
Menurut Fawzi Turki, penulis di Gulfnews, para pejabat AS mestinya mendengarkan teriakan agar Amerika Serikat mendesak Israel supaya melakukan penahanan diri, ketika penguasa Yahudi itu menghancurkan lagi rumah orang Arab di Jerusalem Timur.
Amerika Serikat mestinya juga tak mengeluarkan pernyataan yang mendukung hak sipil dan hak asasi manusia serta menganjurkan demokrasi di dunia Arab sewaktu protes berlangsung di jalan-jalan ibukota negara mereka, kata Fawzi Turki.
Amerika Serikat, kalau saja tulus mengenai demokrasi dan melindungi warga sipil, memiliki waktu 44 tahun untuk memperlihatkannya di Palestina.
Rakyat Palestina memiliki puluhan alasan untuk membela diri. Di antaranya adalah resolusi Dewan Keamanan PBB yang "secara langsung mengecam pelanggaran Israel terhadap semua resolusi Dewan Keamanan PBB, Piagam PBB, Konvensi Jenewa, hukum terorisme internasional atau pelanggaran terhadap hukum lain internasional".
Alasan lain dapat ditemukan di Laporan Goldstone. Tapi Sarannya belum diterapkan lebih dari 18 bulan setelah laporan tersebut diajukan kepada Dewan Hak Asasi Manusia. Paragraf 1912 laporan itu menegaskan "semua Negara Konvensi Jenewa Keempat yang berkaitan dengan Perlindungan Warga Sipil dalam Masa Peran, 12 Agustus 1949, berisi kewajiban tambahan. Sementara itu Piagam PBB dan hukum internasional mesti dihormati guna menjamin kepatuhan Israel pada hukum kemanusiaan internasional sebagaimana termaktub di dalam Konvensi itu".
Yang paling mendesak dapat ditemukan di Piagam PBB, Pasal 52, yang menetapkan, "Tak ada di dalam Piagam saat ini yang bisa merusak hak yang melekat bagi per orangan atau kolektif untuk membela diri jika serangan bersenjata terjadi terhadap satu Anggota PBB, sampai Dewan Keamanan melakukan tindakan yang diperlukan guna memelihara keamanan dan perdamaian internasional."
Kini jika masyarakat internasional telah meninggalkan tanggung jawabnya terhadap rakyat Palestina, dan terutama mereka yang berada di Jalur Gaza, lalu apa yang tersisa buat rakyat di Palestina selain membela diri? [C003/K004, AntaraNews]
Perhatian masyarakat dunia saat ini tertuju pada peristiwa dramatis yang merongrong Libya dan Yaman, Bahrain dan Suriah, dan tempat lain di dunia Arab, sementara itu Israel asyik memperluas daerah jajahannya di Tepi Barat Sungai Jordan dan Jerusalem Timur.
Negara Yahudi tersebut juga seenaknya meningkatkan pemboman terhadap rakyat terkepung di Jalur Gaza, tempat militer Yahudi membantai delapan orang Palestina. Empat korban --menurut laporan media internasional-- berasal dari satu keluarga, dua di antara mereka adalah anak kecil.
Tak ada yang "luar biasa" sebenarnya dalam kejadian tersebut. Entah berapa banyak orang Palestina yang dibunuh pada pekan lalu oleh penguasa Yahudi.
Tepi berita itu memang menarik perhatian media di Amerika. Menurut laporan, perisitiwa tersebut dimasukkan ke dalam bagian "News in Brief" --tapi saat satu keluarga Yahudi yang terdiri atas lima lima orang ditikam oleh orang Palestina di Tepi Barat, perhatian yang diberikan media Amerika jauh lebih besar.
Meskipun banyak pengulas diberitakan mencela aksi pemerintah Yahudi tersebut, tak seorang pun dari mereka mempertimbangkan konteksnya; Tepi Barat Sungai Jordan adalah wilayah yang dijajah, dan bukan hanya hukum internasional menganggap wilayah itu berada di luar batas kolonisasi oleh kaum pendudukan, tapi hukum juga menganggap wilayah semacam itu sebagai daerah pertempuran.
Jadi, jika orang membawa anak-anak dan kaum perempuan ke daerah pertempuran, terbuka peluang mereka akan cedera --sangat mungkin orang orang atau sekelompok orang yang tanah mereka dijajah. Masyarakat madani Palestina jatuh miskin akibatkan kehilangan tanah mereka.
Yang jadi pertanyaan ialah apakah kaum Yahudi bisa lolos dengan aksi kolonial mereka, dan dengan tindakan brutal yang setiap hari mereka lakukan terhadap orang Palestina, seandainya saja tak ada dukungan dari AS, sekutu dan pelindung kuatnya?
Coba saja bandingkan dengan aksi kapal perang AS yang menghujani sistem pertahanan Libya dengan rudal cruise Tomahawk, sementara pesawat tempurnya mengganyang kendaraan militer negara Afrika Utara tersebut. Presiden AS Barack Obama menegaskan aksi itu "dimaksudkan untuk melindungi warga sipil".
Tapi bagaimana dengan rakyat miskin Palestina baik di Tepi Barat maupun di Jalur Gaza, apakah mereka bukan warga sipil? Apakah mereka tak pantas dilindungi dari kekejaman kaum Yahudi?
Amerika Serikat juga telah dengan ringan tangan membom penduduk di daerah sabuk suku Pakistan di perbatasan dengan Afghanistan, padahal mereka juga warga sipil. Mereka dicap sebagai "teroris" oleh negara adidaya tersebut, tapi benarkah tudingan itu?
Sewaktu Dewan Keamanan PBB baru-baru ini berusaha mensahkan resolusi untuk mengutuk perluasan wilayah Israel di tanah Arab, Washington menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan rencana itu.
Yang lebih menyakitkan hati ialah Duta Besar AS untuk PBB Susan Rice diberitakan mengatakan kepada wartawan bahwa "sungguh, sejujurnya, dengan menggunakan hak veto tak berarti Washington menyetujui perluasan wilayah Israel".
Lalu apa? Sekali lagi, para diplomat memang boleh-boleh saja bersikap "diplomatis", tapi sikap muka-dua, standard-ganda terlihat jelas menjadi landasannya.
Orang jadi prihatin sebab sikap munafik dengan gamblang menjadi faktor kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah.
Mendua
Memang baik jika orang tak menganggap remeh ancaman pemimpin Libya Muamar Gaddafi untuk tak memperlihatkan belas kasih terhadap mereka yang menentang dia. Tapi kapan ya terakhir kali orang melihat AS mengekang negara kliennya, Israel, agar "tak memperlihatkan sikap tak kenal ampun" terhadap rakyat di Lebanon dan Jalur Gaza. Di kedua wilayah tersebut --dalam dua agresi militernya-- Israel menewaskan ribuan warga sipil dan meluluh-lantakkan rumah serta lahan mereka.
Lalu kapan terakhir kali pemerintah Amerika tak harus menelan kue penghinaan dan tak berkutik dalam menghadapi Israel sehubungan dengan tindakan penguasaan tanah Arab oleh penguasa Yahudi.
Pemerintah Obama telah menghabiskan kebanyakan masa jabatannya untuk memperbaiki hubungan dengan negara Islam, terutama negara Arab. Tapi bagi AS apa yang Israel mau bisa didapatkan, dan apa yang Israel lakukan tak pernah menghadapi hukuman.
"Pendudukan --yang tidak sah, tak manusiawi, dan tak sejalan dengan nila-nilai Yahudi-- telah berlangsung selama 44 tahun," tulis David Remnick di potongan "Talk of the Town" di New Yorker belum lama ini.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berpendapat ia dapat terus bertindak semaunya, dan terjamin di balk tembok kokoh. Pada penghujung Februrari, ia menelefon Kanselir Jerman Angela Merkel untuk menyampaikan ketidak-senangannya sebab Jerman telah memberi suara buat resolusi PBB yang mengutuk penjajahan Yahudi, sehingga Merkel dilaporkan nyaris tak bisa menahan amarahnya.
"Berani sekali kamu?" kata Merkel sebagaimana dikutip media transnasional. "Kamu lah yang telah mengecewakan kami. Kamu tak pernah melakukan satu langkah pun ke arah perdamaian."
Kanselir Jerman tersebut bisa mengatakan itu kepada perdana menteri Israel, tapi seorang presiden Amerika tak pernah melakukannya.
Menurut Fawzi Turki, penulis di Gulfnews, para pejabat AS mestinya mendengarkan teriakan agar Amerika Serikat mendesak Israel supaya melakukan penahanan diri, ketika penguasa Yahudi itu menghancurkan lagi rumah orang Arab di Jerusalem Timur.
Amerika Serikat mestinya juga tak mengeluarkan pernyataan yang mendukung hak sipil dan hak asasi manusia serta menganjurkan demokrasi di dunia Arab sewaktu protes berlangsung di jalan-jalan ibukota negara mereka, kata Fawzi Turki.
Amerika Serikat, kalau saja tulus mengenai demokrasi dan melindungi warga sipil, memiliki waktu 44 tahun untuk memperlihatkannya di Palestina.
Rakyat Palestina memiliki puluhan alasan untuk membela diri. Di antaranya adalah resolusi Dewan Keamanan PBB yang "secara langsung mengecam pelanggaran Israel terhadap semua resolusi Dewan Keamanan PBB, Piagam PBB, Konvensi Jenewa, hukum terorisme internasional atau pelanggaran terhadap hukum lain internasional".
Alasan lain dapat ditemukan di Laporan Goldstone. Tapi Sarannya belum diterapkan lebih dari 18 bulan setelah laporan tersebut diajukan kepada Dewan Hak Asasi Manusia. Paragraf 1912 laporan itu menegaskan "semua Negara Konvensi Jenewa Keempat yang berkaitan dengan Perlindungan Warga Sipil dalam Masa Peran, 12 Agustus 1949, berisi kewajiban tambahan. Sementara itu Piagam PBB dan hukum internasional mesti dihormati guna menjamin kepatuhan Israel pada hukum kemanusiaan internasional sebagaimana termaktub di dalam Konvensi itu".
Yang paling mendesak dapat ditemukan di Piagam PBB, Pasal 52, yang menetapkan, "Tak ada di dalam Piagam saat ini yang bisa merusak hak yang melekat bagi per orangan atau kolektif untuk membela diri jika serangan bersenjata terjadi terhadap satu Anggota PBB, sampai Dewan Keamanan melakukan tindakan yang diperlukan guna memelihara keamanan dan perdamaian internasional."
Kini jika masyarakat internasional telah meninggalkan tanggung jawabnya terhadap rakyat Palestina, dan terutama mereka yang berada di Jalur Gaza, lalu apa yang tersisa buat rakyat di Palestina selain membela diri? [C003/K004, AntaraNews]